Monday, March 23, 2009

SAFETY RIDING, SAFETY DRIVING, SAFETY DREAMING?

SAFETY RIDING, SAFETY DRIVING, SAFETY DREAMING?

Pagi itu tanggal 20 Nopember 2008, seperti biasa aku berangkat ke kantor cukup pagi, sekitar jam 06.10 WIB. Berangkat pagi ini telah menjadi kebiasaan sejak aku pake kendaraan sendiri, walau hanya motor Suzuki Bravo tahun 1995 milik Bulikku, tapi telah menjadi partnerku sejak lebaran kemarin. Lumayan untuk mengirit biaya transport per hari, dan konsekuensinya hanya dengan merawat baik-baik motor bulikku itu.

Berangkat pagi aku lakukan untuk menghindari kemacetan di titik-titik tertentu yang ada dalam jalurku berangkat kantor, karena sekitar jam 6.30 jalan mulai padat. Selain itu juga agar sesedikit mungkin bertemu polisi di jalan, karena memang aku belum mengantongi SIM C.

Dalam dompetku di pagi itu terdapat uang sekitar 400 ribu lebih dikit, yang rencananya akan aku belanjakan untuk membeli dobok (pakaian latihan Taekwondo) dan sisanya kurencanakan untuk biaya dapetin SIM C. Tanggal 29 Nopember 2008, aku dapat kesempatan untuk masuk dalam tim Taekwondo Kota Salatiga untuk seleksi PORPROV 2008, yang sebetulnya aku hanya untuk memenuhi kuota jumlah atlet saja, karena untuk kelas berat kekurangan orang (saat itu berat badanku 95 kg). Untuk seorang rookie dalam olah raga bela diri seperti aku ini, dapat kesempatan bertanding di ajang resmi adalah sebuah anugrah, sebuah mimpi yang jadi kenyataan.

Tapi belum ada 5 menit motorku melaju, sekitar 500 m dari tempat tinggalku saat ini, jadilah semua itu betul-betul hanya sebuah mimpi. Di perempatan Kalimangkak, aku memutuskan untuk berbelok ke kanan karena aku baru ingat bahwa bensinku sudah menipis dan harus isi lagi, tujuanku adalah SPBU di jalan Imam Bonjol yang sudah jadi tempat biasa aku isi bensin. Dengan mengurangi kecepatan dan memberikan tanda lampu untuk belok kanan, aku membelokkan kendaraanku. Di depanku sebuah kendaraan roda empat mengurangi kecepatannya untuk memberiku jalan belok. Setelah aku melewati kendaraan tersebut dan kira-kira sudah sejajar dengan posisi trotoar, AKU TIDAK INGAT APAPUN...!!

Tak ada cahaya putih, tak ada perjalanan astral ke tempat takkukenal, aku terbangun dengan melihat kakakku di sampingku, bertanya “Aku dimana?” kakakku menjawab “Kamu di rumah sakit”

“Kenapa?” aku kembali bertanya

“Kamu tabrakan di perempatan Kalimangkak”

“Motornya gimana? Laptopnya gimana?” aku mencoba menanyakan kondisi motor Bulikku dan laptop milik kantor yang sering aku bawa pulang untuk menyelesaikan tugas-tugasku di kantor.

“Kamu ga usah mikirin motor dulu, laptopnya dah dibawa balik ke kantor” jawab kakakku. (baru belakangan aku tahu laptop tersebut rusak berat, LCDnya mati total, dan ada kemungkinan mobonya juga retak. Dan motornya pun bisa dibilang kondisinya parah, bagian depannya rusak berat bahkan blok mesinnya sampai pecah!)

Setelah itu semua peristiwa bergulir satu demi satu, kakakku yang menanyakan beberapa hal untuk memastikan kesadaranku (lebih tepatnya kondisi ingatanku), beberapa temanku dan atasanku di kantor yang datang, ibuku yang datang dengan tangis dan aku coba untuk menenangkan dengan bilang aku baik-baik saja (tentu saja karena aku sendiri tidak dapat melihat kondisi sendiri, dengan pakaian yang sobek sana-sini, darah yang mengucur dari luka-luka di tubuhku, terutama di pelipisku kiri).

Hari itu juga aku dibawa ke RS. Dr. Moewardi di Jebres-Solo, karena di Salatiga tidak dokter ahli untuk bedah ortopedhi, aku mengalami patah di femur (tulang paha) kiri dan ada tulang yang lepas di persediaan tangan kiriku, selain itu hanya memar dan sobekan di pelipis kiri serta beberapa luka kecil yang terlihat. Dan aku menjalani operasi pada hari berikutnya, hanya 5 hari terbaring di rumah sakit kemudian aku diperbolehkan pulang, tentu saja aku masih menjalani perawatan dan kontrol dokter (sampai aku menulis ini aku masih berjalan dibantu kruk dan masih menjalani pengobatan)

Selama dirawat di rumah sakit, aku mencoba menggali kronologis kejadian kecelakaan yang menimpaku.

Sebagai orang yang lahir dan besar di Salatiga, serta hampir setiap hari melewati jalan Diponegoro sepanjang hidupku, tentunya ku tahu betapa rawannya jalur ini. Melintang utara-selatan, jalan ini bukan hanya salah satu jalan utama di Kota Salatiga, tetapi juga sekitar 70% dari total panjangnya merupakan jalur antar kota yang ramai, terutama menghubungkan Semarang dan Solo, bahkan tiap kali arus mudik dan arus balik lebaran dapat dipastikan jalur ini mengalami kemacetan.

Pagi itu ketika kecelakaan yang menimpaku terjadi, lalu lintas belumlah ramai/padat. Dan mungkin ini juga yang menyebabkan orang yang menabrakku lenggah. Arah jalur yang dilewati orang yang menabrakku adalah dari arah Solo ke Semarang, dan aku sebaliknya hingga saat aku memutuskan berbelok. Ketika berbelok, posisiku sama sekali tidak terlihat oleh dia, karena di depannya ada mobil yang sebenarnya memberiku jalan untuk berbelok. Entah karena dia memacu motornya terlalu tinggi, atau memang dia tidak mempedulikan etika lalu lintas, si penabrak mengambil jalur disisi kiri mobil tanpa mengurangi kecepatan, tanpa berpikir apa yang membuat mobil didepannya mengurangi kecepatannya. Dan saat itulah dia menghantamku dari sisi kiri, dan menurut yang aku dengar, aku dan motorku sempat terseret lebih dahulu, sebelum akhirnya dia melewati aku (atau mungkin melindasku) dan masuk ke saluran air di depan rumah dinas Korem. (mungkin bisa dibayangkan jika ditabrak dari samping dengan kecepatan 1 banding 3 atau 1 banding 4, dengan bandingan ukuran kendaraan : Suzuki Bravo VS Honda Megapro)

Kami berdua ditolong oleh orang-orang di sekitar tempat itu, dan dibawa ke RSU Salatiga dengan kendaraan dinas milik Korem. Aku mengalami luka sepertinya aku ceritakan di sebelumnya, sedang penabrakku mengalami gegar otak ringan, beberapa luka luar tanpa ada satu tulangnyapun yang patah.

Atas kesepakatan keluargaku dan keluarga penabrak, akhirnya diputuskan bahwa pihakku hanya menuntut ganti rugi perbaikan atas kerusakan sepeda motor. Sedang untuk biaya perawatanku, diputuskan untuk ditanggung sendiri oleh keluargaku, karena melihat kondisi ekonomi dari keluarga penabrak membuat kami tidak mau menuntut terlalu tinggi. Dan juga karena kondisiku saat itu menuntut tindakan medis sesegera mungkin. Walaupun kami harus “nabrak” kanan-kiri untuk biayaku selama perawatan, terutama ketika di rumah sakit, Alhamdulillah biaya tersebut dapat tertutup dengan hasil pengajuan klaim asuransi Jasa Raharja.

Apa yang ingin kusampaikan disini betapa banyak orang di jalan yang menggunakan kendaraan tapi tidak mengerti, tidak mematuhi rambu lalu lintas atau bahkan tidak memiliki etika berkendara di jalan raya. Mereka bahkan tidak peduli bahwa jika berkendara dengan aman (safety driving/safety riding) bukan hanya memperkecil resiko mengalami kecelakaan sendiri, tapi juga memperkecil resiko membuat celaka orang lain. Aku bukan satu-satunya orang dalam keluargaku yang menjadi korban dari tindakan unsafe riding, dulu kakakku mengalami kecelakaan yang hampir sama, ditabrak dari samping. Pelakunya adalah “pelajar” yang “trek-trekan” (balapan liar), yang dilakukan pada waktu sore hari! Dan waktu itu kakakku juga mengalami patah tulang di bahu kanannya.

Apa yang sebenarnya ingin dibuktikan oleh para pelaku unsafe driving/unsafe riding ini? Ingin terlihat gagah atau jantan? Ingin agar orang tahu kendaraan lebih cepat dari yang lain? Tidak mengerti aturan lalu lintas? Atau sebenarnya memang tidak punya kepedulian terhadap kepentingan orang lain/pengguna jalan yang lain? Aku tidak bisa menyimpulkan jawabannya. Karena bagaimanapun ketatnya kepolisian di beberapa wilayah dalam pembuatan SIM atau betapa seringnya operasi lantas dilakukan, kenyataan bahwa angka kecelakaan yang terjadi di jalan raya terus meningkat. (bahkan sampai saat aku menulis artikel ini, setidaknya ada 6 kali laka lantas terjadi di ruas jalan Diponegoro Salatiga yang aku tahu/dengar, dan dua diantaranya menelan korban jiwa)

Aku hanya sekedar mengingatkan bahwa melakukan unsafe driving/unsafe riding adalah hal yang bodoh. Mungkin saja korban dari kebodohan itu enggak cuma cacat tapi mati, tetapi hidup dalam keadaan cacat juga bukanlah impian semua orang. Dan bisa jadi korbannya adalah pelaku unsafe driving/unsafe riding itu sendiri. Belum lagi efek lanjutan dari kecelakaan yang terjadi, efek pada keluarga korban, hilangnya kesempatan dan impian (seperti yang terjadi padaku), bahkan mungkin hilangnya pilar sebuah keluarga yang menjadi tulang punggung kehidupan mereka.

Bila berkendara dengan aman dan nyaman dapat kita lakukan, kenapa tidak? Setidaknya ini adalah keinginan sebagian besar para pengguna jalan, bahwa kelak keamanan dan kenyamanan berkendara di jalan raya dapat kita rasakan dan nikmati bersama. Tentu saja harus adanya penegakan hukum yang tegas dari aparat terkait sangat berpengaruh dalam hal ini. Dan kesadaran para pengguna jalan untuk mematuhi tata tertib yang berlaku. Hingga kelak lalu lintas jalan raya yang aman bukan sekedar impian.


MUNGKIN YANG KAU AMBIL BUKAN HANYA NYAWA

TAPI KAU RUNTUHKAN SEBUAH PILAR KELUARGA

MUNGKIN YANG KAU REMUKKAN BUKAN SEKEDAR KAKI DAN TANGAN

TAPI TELAH KAU HANCURKAN SEBUAH IMPIAN

JIKA BISA BERKENDARA DENGAN AMAN DAN NYAMAN,

KENAPA TIDAK KAU LAKUKAN?

No comments: